Senin, 18 April 2016

Problematika Klasik para Pengemban Misi

Mahasiswa merupakan miniatur dari sebuah pemerintahan.  Keduanya memiliki objek pertanggungjawaban atas amanah yang mereka bawa. Perjuangan hak-hak untuk kepentingan pribadi seharusnya mereka kesampingkan. Namun, siklus pergerakan yang ideal seperti itu apakah masih relevan di era sekarang?
Trias Politika, mengajarkan bagaimana suatu pemerintahan harus melakukan pemisahan kekuasaan, melalui fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini pun diterapkan dalam pergerakan dunia kampus. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) memegang fungsi eksekutif untuk melaksanakan peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif. Kemudian, Senat Mahasiswa mengemban fungsi legislatif yang memiliki wewenang untuk membuat peraturan serta mengawasi jalannya pemerintahan yang dijalankan BEM. Sedangkan fungsi yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Mahasiswa sebagai lembaga yang berwenang dalam ranah peradilan kampus.
Berbicara mengenai pemerintahan dan pergerakan dunia kampus, selain keduanya sama-sama memiliki pembagian kekuasaan yang ideal dalam konteks organisasi. Masing-masing area tersebut pun masih berputar-putar dengan masalah penerapan “good governance” dalam menjalankan setiap aktivitas mereka, khususnya terhadap prinsip transparansi, dan akuntabilitas.
Prinsip transparansi merupakan dasar bagi masyarakat untuk  dapat percaya atau tidak kepada orang-orang pengemban amanah. Hal ini biasanya di dukung dengan adanya sistem informasi yang mudah untuk diakses oleh semua lapisan masyarakat, sehingga masyarakat dapat meninjau aktivitas apa dan sejauh mana aktivitas memberikan manfaat bagi mereka. Di lain sisi perlu diketahui bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya tersusun atas satu lapisan saja, yang memiliki banyak kesamaan, akan tetapi masyarakat Indonesia sangat heterogen, dengan berbagai budaya, suku, ras, dan agama, termasuk dalam konteks standar pengetahuan. Jangankan perbedaan jenjang pendidikan, kesadaran seseorang yang setingkat pun belum tentu sama. Sehingga, prinsip transparansi ini membutuhkan aksi dan reaksi dari kedua belah pihak.
Prinsip kedua yaitu akuntabilitas, prinsip ini memiliki erat kaitan dengan pertanggungjelasan atas penggunaan dana masyarakat dalam membiayai semua aktivitas organisasi. Meskipun kenyataannya terdapat  laporan sebagai pertanggungjelasannya, namun yang menjadi pertanyaan yaitu angka-angka yang tercantum. Apakah, itu benar adanya ataukah hanya rekayasa? Sistem pengendalian internal dalam dua area ini dapat dikategorikan memiliki kemampuan deteksi kecurangan yang rendah, misalnya tindakan mark-up yang sering kali lolos dari kualifikasi. Hal ini sebanding dengan indeks korupsi Indonesia yang rendah, dan tertinggal jauh dari negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Dari beberapa persamaan di atas, ada satu hal perbedaan yang perlu digarisbawahi, mahasiswa bergerak tanpa ada imbalan materi, yang mereka kenal yaitu berjuang, melawan, dan berkorban. Memperjuangkan hak  mereka yang tertindas, melawan siapa saja yang telah bertindak di luar jalur yang sesuai, serta mengkorbankan waktu, energi bahkan materi demi rakyatnya. Berbeda dengan pemerintah yang waktu dan energinya akan diganti dengan fasilitas negara yang sangat luar biasa mewahnya.

Mahasiswa dengan tekad perjuangannya berteriak atas nama rakyat. Tanpa pamrih mengharap balasan. Akankah kelak tergoyah ketika mengemban jabatan di ranah pemerintahan? Melihat mereka yang sekarang di belakang jeruji koruptor, dulu pun pernah satu baris dengan kita, para mahasiswa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar