Problematika Klasik para Pengemban Misi
Mahasiswa
merupakan miniatur dari sebuah pemerintahan.
Keduanya memiliki objek pertanggungjawaban atas amanah yang mereka bawa.
Perjuangan hak-hak untuk kepentingan pribadi seharusnya mereka kesampingkan.
Namun, siklus pergerakan yang ideal seperti itu apakah masih relevan di era
sekarang?
Trias
Politika, mengajarkan bagaimana suatu pemerintahan harus melakukan pemisahan kekuasaan,
melalui fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini pun diterapkan
dalam pergerakan dunia kampus. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) memegang fungsi
eksekutif untuk melaksanakan peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif.
Kemudian, Senat Mahasiswa mengemban fungsi legislatif yang memiliki wewenang
untuk membuat peraturan serta mengawasi jalannya pemerintahan yang dijalankan
BEM. Sedangkan fungsi yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Mahasiswa sebagai
lembaga yang berwenang dalam ranah peradilan kampus.
Berbicara
mengenai pemerintahan dan pergerakan dunia kampus, selain keduanya sama-sama
memiliki pembagian kekuasaan yang ideal dalam konteks organisasi. Masing-masing
area tersebut pun masih berputar-putar dengan masalah penerapan “good governance”
dalam menjalankan setiap aktivitas mereka, khususnya terhadap prinsip
transparansi, dan akuntabilitas.
Prinsip
transparansi merupakan dasar bagi masyarakat untuk dapat percaya atau tidak kepada orang-orang
pengemban amanah. Hal ini biasanya di dukung dengan adanya sistem informasi
yang mudah untuk diakses oleh semua lapisan masyarakat, sehingga masyarakat
dapat meninjau aktivitas apa dan sejauh mana aktivitas memberikan manfaat bagi
mereka. Di lain sisi perlu diketahui bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya
tersusun atas satu lapisan saja, yang memiliki banyak kesamaan, akan tetapi
masyarakat Indonesia sangat heterogen, dengan berbagai budaya, suku, ras, dan
agama, termasuk dalam konteks standar pengetahuan. Jangankan perbedaan jenjang
pendidikan, kesadaran seseorang yang setingkat pun belum tentu sama. Sehingga,
prinsip transparansi ini membutuhkan aksi dan reaksi dari kedua belah pihak.
Prinsip
kedua yaitu akuntabilitas, prinsip ini memiliki erat kaitan dengan
pertanggungjelasan atas penggunaan dana masyarakat dalam membiayai semua
aktivitas organisasi. Meskipun kenyataannya terdapat laporan sebagai pertanggungjelasannya, namun
yang menjadi pertanyaan yaitu angka-angka yang tercantum. Apakah, itu benar
adanya ataukah hanya rekayasa? Sistem pengendalian internal dalam dua area ini
dapat dikategorikan memiliki kemampuan deteksi kecurangan yang rendah, misalnya
tindakan mark-up yang sering kali
lolos dari kualifikasi. Hal ini sebanding dengan indeks korupsi Indonesia yang
rendah, dan tertinggal jauh dari negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Dari
beberapa persamaan di atas, ada satu hal perbedaan yang perlu digarisbawahi,
mahasiswa bergerak tanpa ada imbalan materi, yang mereka kenal yaitu berjuang,
melawan, dan berkorban. Memperjuangkan hak
mereka yang tertindas, melawan siapa saja yang telah bertindak di luar
jalur yang sesuai, serta mengkorbankan waktu, energi bahkan materi demi
rakyatnya. Berbeda dengan pemerintah yang waktu dan energinya akan diganti
dengan fasilitas negara yang sangat luar biasa mewahnya.
Mahasiswa
dengan tekad perjuangannya berteriak atas nama rakyat. Tanpa pamrih mengharap
balasan. Akankah kelak tergoyah ketika mengemban jabatan di ranah pemerintahan?
Melihat mereka yang sekarang di belakang jeruji koruptor, dulu pun pernah satu
baris dengan kita, para mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar