Biar kurakit pesawatku
Rentangkan pelan dua sayapnya
Nyalakan sumbunya hingga terpercik api menari
Lepaskan pengaitnya relakan pergi ke arah bulan
-Pesawatku, Memes-
Eittss, jangan tertipu!! Sebait penggalan lirik lagu “Pesawatku” yang dipopulerkan oleh Memes di atas bukan berarti gambaran dari kisahku ini. Hanya saja, merasa sedikit perlu hiburan di tengah-tengah berfikir keras mencari hal yang menginspirasi dari pribadi “remah-remah ciki”, (read : “Shela Nur Widyastuti”).
Hai, Assalamu’alaykum !! Namaku Shela, mahasiswa jurusan Akuntansi di salah satu universitas yang cukup terkenal di Indonesia, sebut saja Universitas Gadjah Mada. Menyandang status mahasiswa ibarat Lubuk Akal Tepian Ilmu, seseorang yang dianggap punya banyak ilmu pengetahuan. Status itu pun bisa menjadi Buah Simalakama,dualisme kondisi yang harus mereka pilih yaitu diam diri karena terlalu menikmati zona nyamannya atau bergerak dan menjadi bagian dari sebuah perubahan.
Kita berjalan pada jalur yang sama, ada yang telah berlari, ada yang sudah berjalan, kemudian ada beberapa yang sedang bersiap sedia. Lantas aku, menertawakan diri sendiri karena masih disibukkan untuk “BERMIMPI” yaitu belajar melangkahkan kaki di jalur ini.
Pernah mendengar tentang mitos mimpi-mimpi yang bisa menjadi nyata? Percayakah kita? Sebuah pertanyaan retorik sebenarnya jika konteksnya mimpi sebagai bunga tidur. Bagaimana dengan soundtrack film Laskar Pelanggi “ Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia, berlarilah tanpa lelah, sampai engkau meraihnya”. Sebuah gambaran bagaimana besarnya kekuatan mimpi bisa menjadi pelecut semangat kita untuk menggapainya.
.----.
Takut untuk bermimpi, menjadi pengecut bagi diri sendiri. Sudah pasti, aku pernah merasakannya. Malu tidak tercapai, menghindari ejekan orang lain, atau hanya karena merasa rendah atas mimpi-mimpi yang terlalu tinggi. Semua itu hal yang lumrah dirasakan oleh sebagian besar orang yang tidak menyadari seberapa banyak mimpi-mimpinya yang telah tercapai.
Hingga suatu titik dalam kekosongan, aku merasa bingung mengenai tujuan, untuk apa aku melakukan hal ini itu? Akankah memberikan manfaat? Ataukah hanya akan sia-sia? Kehidupan seperti mengalir begitu saja. Istilahnya kurang greget. Bangun-kuliah-Rapat-Tidur. Kemudian terulang kembali, dan aku menyadari bahwa aku seonggok daging yang tidak berarti.
.----.
Di atas secarik kertas gambar ukuran A4, aku menuliskan beberapa harapanku. Kemudian, kertas itu ku tempelkan di dinding kamar kos, setiap menjelang tidur selalu ku pandang setiap barisnya, ku lanjutkan bermunajat kepada-Nya.
Bukan plagiarisme atas kisah-kisah yang sering kita dengar. Aku membuktikan kisah-kisah sebelumnya. Harapan-harapan itu satu per satu ku coret, karena tercapai lebih cepat dari target. Bahkan melebihi apa yang sudah cukup bagiku.
Ketika aku mentargetkan mendapatkan “1 beasiswa” dalam bulan yang sama aku mendapat pengumuman jika diterima oleh “2 beasiswa” sekaligus. Ketika aku menargetkan indeks prestasi semester 3,92 aku mendapatkan lebih dari itu. Serta beberapa perlombaan yang aku tulis akan mendapatkan juara maka Allah telah mengizinkan hal itu. Dan Dia telah mempermudahkanku untuk mencapai semua itu.
Dalam kertas itu aku menuliskan “International Conference”, dengan berbagai keterbatasanku dalam bahasa Inggris yang masih sangat standar, Allah berkehendak jika aku telah lolos menjadi peserta, meskipun hanya ke Jakarta. Akan tetapi, bercampur baur dengan mahasiswa dari berbagai negara telah memberikan pengalaman baru yang sebelumnya sangat jarang aku temui. Bahkan sahabat baru dari Kamboja, namanya Savana.
Manusia pengejar Fully-Funded.Hingga saat ini, rasanya masih berat mengeluarkan uang pribadi untuk mengudara, naik pesawat. Tertanggal 19 Oktober 2015 merupakan pengalaman pertama kali ku menaiki pesawat. Jujur antusias, buka-buka buku petunjuk keselamatan, nonton film yang disediakan di layar dan tidak berhenti memandangi keindahan bumi pertiwi. Mengudara ke-empat kalinya, aku mendengar panggilan terakhir, berlari kencang dari Gate F ke E di Terminal 2F Bandara Soe-Ta, bahkan Sri Sultan Hamengku X yang seharusnya masuk pesawat terakhir, beliau telah berada di baris depanku. Hal ini menandakan bahwa aku adalah orang terakhir yang ditunggu, lebih tepatnya terlambat. Berbeda lagi dengan penerbangan ku untuk yang ke-enam kalinya, cuaca buruk, beberapa kali pesawat mengalami guncangan, dan pendaratan yang sama sekali tidak mulus. Keenam-enamnya penerbangan tersebut gratis begitu pula dengan fasilitas hotel berbintang lima yang selalu disediakan penyelenggara acara.
What’s the next chapter?? Ceritaku berada di Negeri Sakura. Sedang berdo’a dan berusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar